Niat merupakan bentuk ibadah qalbiyyah yang sangat penting, sehingga niat mempunyai peringkat pertama sebelum melakukan aktivitas ibadah, benar dan tidak sebuah ibadah atau perbuatan ditentukan oleh niat, karena niat mempunyai dua kecenderungan : ikhlas atau syirik.
Pengertian Niat
Secara bahasa, orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti ‘sengaja’, terkadang niat juga digunakan dalam pengertian ‘sesuatu yang dimaksudkan’, sedangkan secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat.
Karena itu banyak ulama yang memberikan makna niat secara bahasa, semisal Imam Nawawi, beliau mengatakan ”niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya”. Al-Qarafi mengatakan, “Niat adalah maksud yang terdapat dalam hati seseorang untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan”. Imam Al-Khathabi mengatakan, “Niat adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu dengan hati dan menjatuhkan pilihan untuk melakukan hal tersebut. namun ada juga yang berpendapat bahwa niat adalah tekad bulat hati”.Ada juga ulama yang mendefinisikan niat dengan ikhlas, hal ini bisa diterima karena terkadang makna niat adalah bermaksud untuk melakukan suatu ibadah, dan terkadang pula maknanya adalah ikhlas dalam menjalankan suatu ibadah.
Secara singkat, dapat kita ambil kesimpulan bahwa niat adalah kehendak hati bersamaan dengan melakukannya, tempatnya dalam hati dan mengucapkannya sunah.
Melafadzkan Niat (Talaffudz Binniyat)
Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh, contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushalli fardhash-shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”.
Hal semacam ini biasa dibaca oleh kalangan Muslimin sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun shalat, seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat, niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir, Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm Juz 1 : “Niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah takbir”.
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan takbir, takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbiratul ihram adalah rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat, Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawi didalam Kitab Raudhatut Thalibin, mengatakan : ”Diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”, dan masih banyak lagi keterangan yang serupa, jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan).
Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat, didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a) Qashdul fi’li ( قصد الفعل ) yaitu menyengaja mengerjakannya, contoh lafadznya seperti ( اصلي ) ushalli ”aku menyengaja”.
b) Ta’yin ( تعيين ) maksudnya adalah menentukan jenis shalatnya, seperti Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya atau Shubuh.
c) Fardliyah ( فرضية ) maksudnya adalah menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (فرضية ).
Jadi berniat, semisal (أصلي فرضا الظهر أداء لله تعالي ) ”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah” saja sudah cukup, sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram, yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah ( مقارنة ) mengandung pengertian :
- Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal takbir.
- Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah dipilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية ), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat, Imam Al-Ibnu Rif’ah dan Al-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti diatas (Muqaranah Urfiyyah ( عرفية مقارنة ) tidak cukup menurut kebiasaan, maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah ( مقارنة ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah (مقارنة حقيقة ), namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (’Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah ’Urfiyyah ( عرفية مقارنة ), menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek, Namun, Ulama Hanabilah lebih memilih bersamaan untuk menghindari khilaf.
Jika demikian, lalu bagaimanakah hukum melafadzkan niat semacam mengucapkan : Ushalli Fardhal Magribi Tsalatsa Raka’atin Mustaqbilal Qiblati Ada-an Lillahi Ta’ala...?
Sudah menjadi maklum bersama bahwa tempatnya niat adalah di dalam hati, sebagaimana diterangkan :
- Dalam Fiqh Sunnah : “Niat itu tempatnya dalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”.
- Kitab Al-Majmu' : “Sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup”,
- Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Arkanush Shalat : “Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati”.
Dan masih banyak lagi keterangan yang semakna, semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati, demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat (talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan, niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan, dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu, Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab berkata : "Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya, Niat adalah arah yang dituju”, sebagaimana juga dikatakan :
- Dalam Kitab Fathul Qarib Bisyarhi At-Taqrib dijelaskan : وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ :“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”.
- Dalam Fiqh Madzhab Imam Asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat "(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati”, dalilnya sabda Nabi SAW : ٳنما الاعمال بالنيات
- Dalam As-Siraj Al-Wahaj ‘Ala Matn Al-Minhaj : "(Niat) menurut syara' adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adalah menyengaja".
Dan masih banyak lagi penjelasan yang serupa, maka sekagi lagi kami perjelas, niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (talaffudz binniyat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat, niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat, kita sudah paham bahwa awal shalat adalah takbir yang bersamaan dengan niat, yang mana takbir dan niat itu termasuk dalam rukun shalat, maka aktifitas apapun sebelum bertakbir yang bersamaan dengan niat bukanlah termasuk shalat, bukan termasuk fardlu/rukun shalat, jadi talaffudz binniyah itu diluar shalat atau sebelum shalat, sudah dikatakan shalat apabila sudah bertakbir yang bersamaan dengan niat, dinamakan takbiratul ihram sebab, orang yang mengerjakan shalat diharamkan melakukan sesuatu yang sebelumnya halal dilakukan, contohnya : semua hal semisal makan, minum, dan lainnya adalah halal, namun ketika sudah takbiratul ihram (shalat) semua itu diharamkan dilakukan dan bisa menjadi pembatal shalat.
Melafadzkan niat (talaffudz binniyah) hukumnya sunnah, kesunahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah SAW dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat, yaitu pada ibadah Haji : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا : للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُا عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ “Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan : “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim).
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji, hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari talaffudz binniyah.
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW, sunnah dalam pengertian ilmu fiqh adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa, tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Tujuan dari melafadzkan niat (talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusyuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Dengan demikian, berdasarkan Jumhur Ulama melafadzkan niat adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati dalam hal menghadirkan niat, agar dengan mengucapkannya bisa membantu dalam hal berdzikir (mengingat-ingat), dan karena tempatnya niat adalah didalam hati pada seluruh ibadah, sesungguhnya niat itu ikhlas dan tidak akan pernah ikhlas kecuali dengan hati atau hakikatnya niat adalah menyengaja secara mutlak, apabila berniat dengan hatinya dan melafadzkannya dengan lisan, menurut jumhur itu lebih sempurna, namun, bila melafadzkan dengan lisan tanpa berniat dalam hatinya maka itu tidaklah mencukupi, adapun jika berniat didalam hati saja dan tidak melafadzkan dengan lisannya maka itu sudah mencukupi.
Melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela, sebagai sebuah perkataan yang baik, maka tentunya diridhoi oleh Allah SWT dan Allah senang dengan perkataan yang baik-baik, dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh Malaikat sebagai amal sholih bagi hamba tersebut, dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :ما يلفظ من قول ٳلا لديه رقيب عتيد Artinya Wallahu a’lamu bimurodih : “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Al-Qaf : 18), dalam Ayat yang lain :من كان يريد العزة فلله العزة جميعا ٳليه يصعد كلم الطيب والعمل الصالح يرفعه Artinya Wallahu a’lamu bimurodih : “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya, kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. Al-Fathir : 10).
Dengan demikian, melafadzkan niat (Talaffudz Binniyah) selain kesunahan, juga sebagai sebuah ucapan yang baik, dan tentunya memiliki nilai pahala tersendiri disisi Allah SWT berdasarkan ayat Al-Qur’an diatas. Wallahu a’lam,..