Kamis, 01 Desember 2011

Keingkaran dan Petaka

Firman Allah Swt yang artinya Wallahu A’lamu Bimurodih : “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menatati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan kami (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur hancurnya” (QS. Al-Isra’-17 : 16).

Dalam kamus bahasa Arab kata “Qoryah” berarti Desa. Secara umum bisa diartikan Negeri atau Wilayah. Kata ini baik dalam nakiroh atau ma’rifat dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 33 kali. Kata “Ahlakna” berarti membinasakan. Fa’il dengan Dhomir Muttashil yang kembalinya kepada Allah. Kata dalam bentuk ini membutuhkan maf’ul, ketika hanya berupa kata “Halaka” tidak bisa dirangkai dengan maf’ul-nya. Ini memberikan pelajaran bahwa Allahlah yang melakukan kebinasaan kepada suatu kaum atau qoryah. Secara bahasa kata Halaka dengan bentuk mashdar bisa hulkan-halaakan-huluukan, mahlakan-tahlukatan yang berarti maata yaitu mati atau binasa (Kamus Al-Munawwir). Kata ahlakna dalam Al-Qur’an tanpa dirangkai dengan kata atau dhomir lainnya disebutkan sebanyak 20 kali.

Pada ayat tersebut Allah Swt telah menjelaskan bahwa apabila Dia berkehendak untuk membinasakan suatu kaum atau negeri, maka Allah Swt memerintahkan kepada kaum mutrofin yaitu orang-orang yang yang hidup bermewah-mewahan di negeri itu untuk mentaatio Allah. Akan tetapi mereka membantah perintah Allah itu, sehingga terjadilah kemaksiatan dan kejahatan secara merata, bahkan kejahatan dan kemaksiatan itu sudah menjadi hal yang biasa. Orang sudah tidak ada yang mengingatkan atau berani merubahnya. Maka ketika keadaan sudah terjadi demikian Allah Swt dengan se-adil-adilnya tidaklah segera menjatuhkan siksaan sebelum meberikan peringatan kepada pemimpin mereka untuk menghentikan kemaksiatan dan kejahatan mereka dan agar segera kembali untuk taat kepada ajaran Allah Swt.

Akan tetapi, sudah sejak zaman dahulu sejarah telah memberikan pelajaran, mereka diperingatkan tetapi tidak mau mendengarkan peringatan itu. Bahkan mereka semakin bertambah membangkang dan penentangannya kepada Allah Swt. Maka Allah kemudian memusnahkan mereka dari muka bumi dengan berbagai adzab, baik berupa bencana alam, musibah, atau balasan buruk lainnya. Itulah ketentuan Allah yang tidak dapat dihindari. Bila dimana-mana kemaksiatan dan penentangan ajaran Allah Swt sudah merata dan menjadi hal yang biasa, maka Allah pun akan menimpakan adzab secara merata dan silih berganti, berpindah dari satu tempat ketempat yang lainnya, dengan berbagai macam bentuknya. Satu musibah atau bencana belum teratasi, muncul bencana lainnya yang skalanya lebih besar. Allah menghancurkan negeri itu dengan sehancur-hancurnya (Tadmiran). Samapi tak tersisa sedikitpun, korban jiwa bergelimpangan, rumah roboh, harta kekayaan tak ada yang bisa digunakan. Demikianlah Sunnatullah.

Yang harus diketahui dan disadari adalah bahwa apa saja yang menimpa pada diri seseorang berupa keburukan adalah datangnya sebagai akibat dari dirinya sendiri (QS. An-Nisa’ : 79). Tidaklah dibenarkan bahwa baik buruk adalah datang dari Tuhan Yang Maha Menentukan. Allah Swt tidaklah mendholimi kepada hamba-Nya. Allah Swt Maha Bagus dan mencintai yang baik-baik pula. Adapun keburukan, kemelaratan, kehinaan, kesengsaraan adalah sebagai akibat dari perbuatan manusia. Dan banyaknya perbuatan dosa kufur itulah yang menyebabkan kebinasaan (QS. Al-Anfal : 54). Kekufuran atau keingkaran sangat membuka pintu adzab Allah Swt, sebaliknya sikap syukur sangat membuka pintu rahmat dan nikmat-Nya (QS. Ibrahim : 7).

Bukan suatu kebetulan jika suatu ayat dengan nomor surat sama persis dengan waktu terjadinya musibah, ini memang kebenaran yang nyata, bahwa Allah Swt telah menunjukkan bukti kebenarannya firman-Nya yang selama ini banyak orang yang meragukan danbahkan mengingkari kebenaran isi Al-Qur’an wahyu Allah. Tidak sedikit manusia yang mengaku beriman akan tetapi mereka justru meninggalkan Al-Qur’an. Al-Qur’an dianggap sebagai kitab kuno, tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Mereka lebih mengedepankan rasio ketimbang wahyu, na’udzubillahi mindzalik. Pada akhirnya ketika membaca bencana tidak pernah membacanya dengan Iqra’ bismirobbikal ladzi kholaq. Yang menjadi peringatan bagi kita semua adalah bahwa petaka, bencana datang tidak hanya mengena bagi kaum yang kufur atau dholim saja, akan tetapi juga akan mengenai bagi orang beriman (QS. Al-Anfal : 25). Hanya saja klasifikasi bagi mukmin bencana adalah ujian keimanan sedangkan bagi kaum yang kufur adalah sebagai adzab sebelum hari kiamat (QS. A-Isra’ : 58). Wallahu A’lam.