Kamis, 01 Desember 2011

Keingkaran dan Petaka

Firman Allah Swt yang artinya Wallahu A’lamu Bimurodih : “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menatati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan kami (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur hancurnya” (QS. Al-Isra’-17 : 16).

Dalam kamus bahasa Arab kata “Qoryah” berarti Desa. Secara umum bisa diartikan Negeri atau Wilayah. Kata ini baik dalam nakiroh atau ma’rifat dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 33 kali. Kata “Ahlakna” berarti membinasakan. Fa’il dengan Dhomir Muttashil yang kembalinya kepada Allah. Kata dalam bentuk ini membutuhkan maf’ul, ketika hanya berupa kata “Halaka” tidak bisa dirangkai dengan maf’ul-nya. Ini memberikan pelajaran bahwa Allahlah yang melakukan kebinasaan kepada suatu kaum atau qoryah. Secara bahasa kata Halaka dengan bentuk mashdar bisa hulkan-halaakan-huluukan, mahlakan-tahlukatan yang berarti maata yaitu mati atau binasa (Kamus Al-Munawwir). Kata ahlakna dalam Al-Qur’an tanpa dirangkai dengan kata atau dhomir lainnya disebutkan sebanyak 20 kali.

Pada ayat tersebut Allah Swt telah menjelaskan bahwa apabila Dia berkehendak untuk membinasakan suatu kaum atau negeri, maka Allah Swt memerintahkan kepada kaum mutrofin yaitu orang-orang yang yang hidup bermewah-mewahan di negeri itu untuk mentaatio Allah. Akan tetapi mereka membantah perintah Allah itu, sehingga terjadilah kemaksiatan dan kejahatan secara merata, bahkan kejahatan dan kemaksiatan itu sudah menjadi hal yang biasa. Orang sudah tidak ada yang mengingatkan atau berani merubahnya. Maka ketika keadaan sudah terjadi demikian Allah Swt dengan se-adil-adilnya tidaklah segera menjatuhkan siksaan sebelum meberikan peringatan kepada pemimpin mereka untuk menghentikan kemaksiatan dan kejahatan mereka dan agar segera kembali untuk taat kepada ajaran Allah Swt.

Akan tetapi, sudah sejak zaman dahulu sejarah telah memberikan pelajaran, mereka diperingatkan tetapi tidak mau mendengarkan peringatan itu. Bahkan mereka semakin bertambah membangkang dan penentangannya kepada Allah Swt. Maka Allah kemudian memusnahkan mereka dari muka bumi dengan berbagai adzab, baik berupa bencana alam, musibah, atau balasan buruk lainnya. Itulah ketentuan Allah yang tidak dapat dihindari. Bila dimana-mana kemaksiatan dan penentangan ajaran Allah Swt sudah merata dan menjadi hal yang biasa, maka Allah pun akan menimpakan adzab secara merata dan silih berganti, berpindah dari satu tempat ketempat yang lainnya, dengan berbagai macam bentuknya. Satu musibah atau bencana belum teratasi, muncul bencana lainnya yang skalanya lebih besar. Allah menghancurkan negeri itu dengan sehancur-hancurnya (Tadmiran). Samapi tak tersisa sedikitpun, korban jiwa bergelimpangan, rumah roboh, harta kekayaan tak ada yang bisa digunakan. Demikianlah Sunnatullah.

Yang harus diketahui dan disadari adalah bahwa apa saja yang menimpa pada diri seseorang berupa keburukan adalah datangnya sebagai akibat dari dirinya sendiri (QS. An-Nisa’ : 79). Tidaklah dibenarkan bahwa baik buruk adalah datang dari Tuhan Yang Maha Menentukan. Allah Swt tidaklah mendholimi kepada hamba-Nya. Allah Swt Maha Bagus dan mencintai yang baik-baik pula. Adapun keburukan, kemelaratan, kehinaan, kesengsaraan adalah sebagai akibat dari perbuatan manusia. Dan banyaknya perbuatan dosa kufur itulah yang menyebabkan kebinasaan (QS. Al-Anfal : 54). Kekufuran atau keingkaran sangat membuka pintu adzab Allah Swt, sebaliknya sikap syukur sangat membuka pintu rahmat dan nikmat-Nya (QS. Ibrahim : 7).

Bukan suatu kebetulan jika suatu ayat dengan nomor surat sama persis dengan waktu terjadinya musibah, ini memang kebenaran yang nyata, bahwa Allah Swt telah menunjukkan bukti kebenarannya firman-Nya yang selama ini banyak orang yang meragukan danbahkan mengingkari kebenaran isi Al-Qur’an wahyu Allah. Tidak sedikit manusia yang mengaku beriman akan tetapi mereka justru meninggalkan Al-Qur’an. Al-Qur’an dianggap sebagai kitab kuno, tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Mereka lebih mengedepankan rasio ketimbang wahyu, na’udzubillahi mindzalik. Pada akhirnya ketika membaca bencana tidak pernah membacanya dengan Iqra’ bismirobbikal ladzi kholaq. Yang menjadi peringatan bagi kita semua adalah bahwa petaka, bencana datang tidak hanya mengena bagi kaum yang kufur atau dholim saja, akan tetapi juga akan mengenai bagi orang beriman (QS. Al-Anfal : 25). Hanya saja klasifikasi bagi mukmin bencana adalah ujian keimanan sedangkan bagi kaum yang kufur adalah sebagai adzab sebelum hari kiamat (QS. A-Isra’ : 58). Wallahu A’lam.

Selasa, 01 November 2011

Antara Para Wali dan Paranormal

Oleh : KH. A. Mustofa Bisri

Tanya : Pak Mus, saya ingin menanyakan tentang Wali Allah yang menurut sementara orang adalah orang yang suci dan mempunyai kemampuan linuwih (semacam mukjizat). Katanya wali itu sukanya aneh-aneh atau nyentrik dalam berpakaian dan berperilaku, tidak seperti umumnya yang biasa. Apakah atau siapakah sebenarnya wali itu..? Bisakah orang biasa mengetahui seseorang itu menjadi wali atau tidak..? Apakah wali sama dengan mereka yang disebut "paranormal" atau "orang pintar"..? Mohon dijelaskan sejelas-jelasnya. Atas penjelasan Pak Mus saya sampaikan banyak terima kasih.

Jawab : Memang akhir-akhir ini, entah kenapa, saya banyak menerima pertanyaan seperti yang Anda ajukan. Apa memang karena sekarang ini banyak "wali" bermunculan, ataukah ini justru pertanda masyarakat sebenarnya mengharap-harap munculnya wali-wali, orang-orang bersih, tempat berpaling?

Percaya atau tidak, saya pernah ditanya oleh seseorang apakah Gus Dur (Abdurrachman Wahid) dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) itu wali. (Ini barangkali juga karena opini yang berkembang di masyarakat tentang wali; orang hebat yang sekaligus nyentrik). Terlepas dari itu, saya ingin menjawab pertanyaan Anda berdasarkan apa yang saya ketahui. Mudah-mudahan jawaban saya ada manfaatnya khususnya bagi mereka yang menaruh perhatian terhadap masalah ini.

Menurut bahasa, wali itu lawan kata 'aduw, musuh. Jadi, bisa berarti sahabat, kawan, atau kekasih. Umumnya wali Allah berarti kekasih Allah. Menurut istilah Ahli Hakikat, wali mempunyai dua pengertian.

Pertama, orang yang dijaga dan dilindungi Allah, sehingga dia tidak dan tidak perlu menyandarkan diri dan mengandalkan pada dirinya sendiri. Seperti dalam Al-Quran surah Al-A'raf : 196 : "Sesungguhnya pelindungku ialah Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) dan Dia melindung orang-orang yang shaleh".
Kedua, orang yang melaksanakn ibadah kepada Allah dan mentaati-Nya secara tekun terus-menerus tak pernah kendur dan tidak diselingi dengan berbuat maksiat, maka Allah pun mencintainya dan melindunginya.

Keduanya, menurut Ahli Hakikat, merupakan syarat kewalian. Wali haruslah orang yang terpelihara (mahfuzh) dari melanggar syarak dan karenanya dilindungi oleh Allah swt, sebagaimana Nabi adalah orang yang terjaga (ma'shum) dari berbuat dosa dan dijaga oleh-Nya. Jadi, setiap orang yang melanggar syarak kok mengaku atau Dianggap wali, jelas dia adalah orang yang menipu atau tertipu. Ada yang mengatakan tanda-tanda wali Allah ada tiga :Himmah atau seluruh perhatiannya hanya kepada Allah.Tujuannya hanya kepada Allah.Kesibukannnya hanya dengan Allah.

Ada juga yang mengatakan tanda-tanda wali Alllah : senantiasa memandang rendah dan kecil kepada diri sendiri serta khawatir akah jatuh dari kedudukannya (di mata Allah) di mana dia berada (Baca "Jamharat al-Auliyaa wa a'laamu Ahli at-Tashawwuf" halaman 73-119). Kalau menurut Al-Quran ini tentu saja yang paling benar, wali Allah adalah orang-orang mukmin yang senantiasa bertakwa dan karenanya mendapat karunia tidak mempunyai rasa takut (kecuali kepada Allah) dan tidak pernah bersedih. Seperti dalam Al-Quran surah Yunus 62-63 : "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa". Atau dengan kata lain, wali Allah adalah orang mukmin yang senantiasa mendekat (taqarrub) kepada Allah dengan terus mematuhi-Nya dan mematuhi Rasul-Nya. Sehingga akhirnya dia dianugerahi karamah, semacam "sifat ilmu linuwih" (seperti mukjizat untuk nabi, bedanya, mukjizat nabi mengikui pengakuat dan sebagai bukti kenabian; sedang karamah wali tidak mengikuti pengakuan kewalian).

Dalam sebuah hadits Qudsi (hadis Nabi Saw. yang menceritakan firman Allah) yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda yang artinya demikian : "Allah Ta'ala telah berfirman : 'Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka aku benar-benar mengumumkan perang terhadapnya. Hambaku tidak berdekat-dekat, taqarrub, kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai melebihi apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekat-dekat kepada-Ku dengan melaksanakan kesunahan-kesunahan sampai Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Akulah pendengarannya dengan apa yang ia melihat. Akulah tangannya dengan apa yang ia memukul. Akulah kakinya dengan apa yang ia berjalan. Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku Aku akan melindunginya."

Boleh saja orang mempunyai "Sifat Linuwih" misalnya bisa membaca pikiran orang, bisa berkomunikasi dengan binatang atau orang yang sudah mati, bisa berjalan di atas air, atau kesentikan-kesentikan lainnya, tapi tentu saja dia tidak otomatis bisa disebut wali. Sebab Dajjal, dukun, tukang sihir, "ahli hikmah", tukang sulap, atau paranormal pun bisa memperlihatkan kesentikan-kesentikan semacam itu. (Ingat, David Copperfield pun bahkan bisa menembus Tembok Cina).

Sebaliknya, bisa saja seorang wali dalam kehidupannya sama sekali tidak tampak "lain" dari orang-orang biasa. Lihat saja, dari sembilan wali Tanah Jawa, yang terkenal punya kesentikan paling-paling hanya Sunan Kalijaga yang membuat soko guru mesjid Demak dengan tatal dan Sunan Bonang yang mengubah buah pindang tampak menjadi emas.

Jadi, kewalian seseorang tidak diukur dengan keanehan dan kesentikannya, apalagi dengan kenyentrikan pakaian dan perilakunya, melainkan dari kedekatan dan ketakwaan kepada Allah. Wallahu A'lam.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Memahami Ayat Kebesaran Allah Swt

Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa orang yang tidak beriman adalah mereka yang tidak mengenali atau tidak menaruh kepedulian akan ayat atau tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah di alam semesta ciptaan-Nya. Sebaliknya, ciri menonjol pada orang yang beriman adalah kemampuan memahami tanda-tanda dan bukti-bukti kekuasaan sang Pencipta tersebut. Ia mengetahui bahwa semua ini diciptakan tidak dengan sia-sia, dan ia mampu memahami kekuasaan dan kesempurnaan ciptaan Allah di segala penjuru manapun.

Pemahaman ini pada akhirnya menghantarkannya pada penyerahan diri, ketundukan dan rasa takut kepada-Nya. Ia adalah termasuk golongan yang berakal, yaitu "…orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka" (QS. Ali 'Imran : 190-191). Di banyak ayat dalam Al-Qur’an, pernyataan seperti : "Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran..?", "terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal". memberikan penegasan tentang pentingnya memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah telah menciptakan beragam ciptaan yang tak terhitung jumlahnya untuk direnungkan. Segala sesuatu yang kita saksikan dan rasakan di langit, di bumi dan segala sesuatu di antara keduanya adalah perwujudan dari kesempurnaan penciptaan oleh Allah, dan oleh karenanya menjadi bahan yang patut untuk direnungkan. Satu ayat berikut memberikan contoh akan nikmat Allah ini : "Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan" (QS. An-Nahl : 11).

Marilah kita berpikir sejenak tentang satu saja dari beberapa ciptaan Allah yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni kurma. Sebagaimana diketahui, pohon kurma tumbuh dari sebutir biji di dalam tanah. Berawal dari biji mungil ini, yang berukuran kurang dari satu sentimeter kubik, muncul sebuah pohon besar berukuran panjang 4-5 meter dengan berat ratusan kilogram. Satu-satunya sumber bahan baku yang dapat digunakan oleh biji ini ketika tumbuh dan berkembang membentuk wujud pohon besar ini adalah tanah tempat biji tersebut berada.Bagaimanakah sebutir biji mengetahui cara membentuk sebatang pohon..? Bagaimana ia dapat berpikir untuk menguraikan dan memanfaatkan zat-zat di dalam tanah yang diperlukan untuk pembentukan kayu..? Bagaimana ia dapat memperkirakan bentuk dan struktur yang diperlukan dalam membentuk pohon..? Pertanyaan yang terakhir ini sangatlah penting, sebab pohon yang pada akhirnya muncul dari biji tersebut bukanlah sekedar kayu gelondongan. Ia adalah makhluk hidup yang kompleks yang memiliki akar untuk menyerap zat-zat dari dalam tanah. Akar ini memiliki pembuluh yang mengangkut zat-zat ini dan yang memiliki cabang-cabang yang tersusun rapi sempurna.

Seorang manusia akan mengalami kesulitan hanya untuk sekedar menggambar sebatang pohon. Sebaliknya sebutir biji yang tampak sederhana ini mampu membuat wujud yang sungguh sangat kompleks hanya dengan menggunakan zat-zat yang ada di dalam tanah. Pengkajian ini menyimpulkan bahwa sebutir biji ternyata sangatlah cerdas dan pintar, bahkan lebih jenius daripada kita. Atau untuk lebih tepatnya, terdapat kecerdasan mengagumkan dalam apa yang dilakukan oleh biji. Namun, apakah sumber kecerdasan tersebut..? Mungkinkah sebutir biji memiliki kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa..? Tak diragukan lagi, pertanyaan ini memiliki satu jawaban : biji tersebut telah diciptakan oleh Dzat yang memiliki kemampuan membuat sebatang pohon. Dengan kata lain biji tersebut telah diprogram sejak awal keberadaannya. Semua biji-bijian di muka bumi ini ada dalam pengetahuan Allah dan tumbuh berkembang karena Ilmu-Nya yang tak terbatas.

Dalam sebuah ayat disebutkan : ”Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al-An'am : 59). Dialah Allah yang menciptakan biji-bijian dan menumbuhkannya sebagai tumbuh-tumbuhan baru. Dalam ayat lain Allah menyatakan : ”Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling..?” (QS. Al-An'am : 95).

Biji hanyalah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang diciptakan-Nya di alam semesta. Ketika manusia mulai berpikir tidak hanya menggunakan akal, akan tetapi juga dengan hati mereka, dan kemudian bertanya pada diri mereka sendiri pertanyaan "Mengapa" dan "Bagaimana", maka mereka akan sampai pada pemahaman bahwa seluruh alam semesta ini adalah bukti keberadaan dan kekuasaan Allah Swt. Wallahu A’lam.

Firman Allah Swt : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Al- Fushshilat).

Kamis, 01 September 2011

Hukum Melafadzkan Niat

Niat merupakan bentuk ibadah qalbiyyah yang sangat penting, sehingga niat mempunyai peringkat pertama sebelum melakukan aktivitas ibadah, benar dan tidak sebuah ibadah atau perbuatan ditentukan oleh niat, karena niat mempunyai dua kecenderungan : ikhlas atau syirik.

Pengertian Niat

Secara bahasa, orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti ‘sengaja’, terkadang niat juga digunakan dalam pengertian ‘sesuatu yang dimaksudkan’, sedangkan secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat.

Karena itu banyak ulama yang memberikan makna niat secara bahasa, semisal Imam Nawawi, beliau mengatakan ”niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya”. Al-Qarafi mengatakan, “Niat adalah maksud yang terdapat dalam hati seseorang untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan”. Imam Al-Khathabi mengatakan, “Niat adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu dengan hati dan menjatuhkan pilihan untuk melakukan hal tersebut. namun ada juga yang berpendapat bahwa niat adalah tekad bulat hati”.Ada juga ulama yang mendefinisikan niat dengan ikhlas, hal ini bisa diterima karena terkadang makna niat adalah bermaksud untuk melakukan suatu ibadah, dan terkadang pula maknanya adalah ikhlas dalam menjalankan suatu ibadah.

Secara singkat, dapat kita ambil kesimpulan bahwa niat adalah kehendak hati bersamaan dengan melakukannya, tempatnya dalam hati dan mengucapkannya sunah.

Melafadzkan Niat (Talaffudz Binniyat)

Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh, contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushalli fardhash-shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”.

Hal semacam ini biasa dibaca oleh kalangan Muslimin sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun shalat, seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat, niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir, Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm Juz 1 : “Niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah takbir”.

Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan takbir, takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbiratul ihram adalah rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat, Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawi didalam Kitab Raudhatut Thalibin, mengatakan : ”Diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”, dan masih banyak lagi keterangan yang serupa, jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan).

Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat, didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a) Qashdul fi’li ( قصد الفعل ) yaitu menyengaja mengerjakannya, contoh lafadznya seperti ( اصلي ) ushalli ”aku menyengaja”.
b) Ta’yin ( تعيين ) maksudnya adalah menentukan jenis shalatnya, seperti Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya atau Shubuh.
c) Fardliyah ( فرضية ) maksudnya adalah menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (فرضية ).

Jadi berniat, semisal (أصلي فرضا الظهر أداء لله تعالي ) ”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah” saja sudah cukup, sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram, yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah ( مقارنة ) mengandung pengertian :
- Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal takbir.
- Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah dipilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية ), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat, Imam Al-Ibnu Rif’ah dan Al-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti diatas (Muqaranah Urfiyyah ( عرفية مقارنة ) tidak cukup menurut kebiasaan, maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.

Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah ( مقارنة ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah (مقارنة حقيقة ), namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (’Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah ’Urfiyyah ( عرفية مقارنة ), menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek, Namun, Ulama Hanabilah lebih memilih bersamaan untuk menghindari khilaf.

Jika demikian, lalu bagaimanakah hukum melafadzkan niat semacam mengucapkan : Ushalli Fardhal Magribi Tsalatsa Raka’atin Mustaqbilal Qiblati Ada-an Lillahi Ta’ala...?
Sudah menjadi maklum bersama bahwa tempatnya niat adalah di dalam hati, sebagaimana diterangkan :
- Dalam Fiqh Sunnah : “Niat itu tempatnya dalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”.
- Kitab Al-Majmu' : “Sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup”,
- Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Arkanush Shalat : “Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati”.

Dan masih banyak lagi keterangan yang semakna, semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati, demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat (talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan, niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan, dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu, Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab berkata : "Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya, Niat adalah arah yang dituju”, sebagaimana juga dikatakan :
- Dalam Kitab Fathul Qarib Bisyarhi At-Taqrib dijelaskan : وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ :“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”.
- Dalam Fiqh Madzhab Imam Asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat "(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati”, dalilnya sabda Nabi SAW : ٳنما الاعمال بالنيات
- Dalam As-Siraj Al-Wahaj ‘Ala Matn Al-Minhaj : "(Niat) menurut syara' adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adalah menyengaja".

Dan masih banyak lagi penjelasan yang serupa, maka sekagi lagi kami perjelas, niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (talaffudz binniyat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat, niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat, kita sudah paham bahwa awal shalat adalah takbir yang bersamaan dengan niat, yang mana takbir dan niat itu termasuk dalam rukun shalat, maka aktifitas apapun sebelum bertakbir yang bersamaan dengan niat bukanlah termasuk shalat, bukan termasuk fardlu/rukun shalat, jadi talaffudz binniyah itu diluar shalat atau sebelum shalat, sudah dikatakan shalat apabila sudah bertakbir yang bersamaan dengan niat, dinamakan takbiratul ihram sebab, orang yang mengerjakan shalat diharamkan melakukan sesuatu yang sebelumnya halal dilakukan, contohnya : semua hal semisal makan, minum, dan lainnya adalah halal, namun ketika sudah takbiratul ihram (shalat) semua itu diharamkan dilakukan dan bisa menjadi pembatal shalat.

Melafadzkan niat (talaffudz binniyah) hukumnya sunnah, kesunahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah SAW dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat, yaitu pada ibadah Haji : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا : للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُا عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ “Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan : “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim).

Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji, hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari talaffudz binniyah.

Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW, sunnah dalam pengertian ilmu fiqh adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa, tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.

Tujuan dari melafadzkan niat (talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusyuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.

Dengan demikian, berdasarkan Jumhur Ulama melafadzkan niat adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati dalam hal menghadirkan niat, agar dengan mengucapkannya bisa membantu dalam hal berdzikir (mengingat-ingat), dan karena tempatnya niat adalah didalam hati pada seluruh ibadah, sesungguhnya niat itu ikhlas dan tidak akan pernah ikhlas kecuali dengan hati atau hakikatnya niat adalah menyengaja secara mutlak, apabila berniat dengan hatinya dan melafadzkannya dengan lisan, menurut jumhur itu lebih sempurna, namun, bila melafadzkan dengan lisan tanpa berniat dalam hatinya maka itu tidaklah mencukupi, adapun jika berniat didalam hati saja dan tidak melafadzkan dengan lisannya maka itu sudah mencukupi.

Melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela, sebagai sebuah perkataan yang baik, maka tentunya diridhoi oleh Allah SWT dan Allah senang dengan perkataan yang baik-baik, dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh Malaikat sebagai amal sholih bagi hamba tersebut, dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :ما يلفظ من قول ٳلا لديه رقيب عتيد Artinya Wallahu a’lamu bimurodih : “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Al-Qaf : 18), dalam Ayat yang lain :من كان يريد العزة فلله العزة جميعا ٳليه يصعد كلم الطيب والعمل الصالح يرفعه Artinya Wallahu a’lamu bimurodih : “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya, kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. Al-Fathir : 10).
Dengan demikian, melafadzkan niat (Talaffudz Binniyah) selain kesunahan, juga sebagai sebuah ucapan yang baik, dan tentunya memiliki nilai pahala tersendiri disisi Allah SWT berdasarkan ayat Al-Qur’an diatas. Wallahu a’lam,..

Senin, 01 Agustus 2011

Sifat Qudroh Allah Swt

Ada seseorang yang mengajukan pertanyaan : “Benarkah Allah swt maha kuasa ? Jika benar, kuasakah Allah swt untuk menciptakan “Sesuatu” yang sama dengan Allah swt sendiri ?”, atau “Benarkah Allah swt maha kuasa ? Jika benar, maka mampukah Dia menciptakan sebongkah batu yang sangat besar, hingga Allah swt sendiri tidak sanggup untuk mengangkatnya ?”, atau berkata : “Jika benar Allah swt maha Kuasa, maka kuasakah Dia menghilangkan Diri-Nya hanya dalam satu jam saja ?”.

Entah dari mana pertanyaan buruk semacam itu mula-mula dimunculkan. Yang jelas, jika itu datang dari luar Islam maka dapat kita pastikan bahwa tujuannya adalah untuk menyesatkan orang-orang Islam. Namun jika yang menyebarkan pertanyaan tersebut orang Islam sendiri maka hal itu jelas menunjukan bahwa orang tersebut adalah orang yang sama sekali tidak memahami tauhid, dan tentunya pengakuan bahwa dirinya sebagai seorang muslim hanya sebatas di mulutnya saja. Ini adalah contoh kecil dari apa yang dalam istilah bahwa Ilmu Kalam telah mengalami distorsi. Padahal, jawaban bagi pertanyaan sesat tersebut adalah bahasan sederhana dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam, ialah bahwa hukum akal terbagi kepada tiga bagian :
01. Pertama, Wâjib ‘Aqly yaitu sesuatu yang wajib adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut tidak ada, yaitu keberadaan Allah swt dengan sifat-sifat-Nya.
02. Kedua, Mustahîl ‘Aqly yaitu sesuatu yang mustahil adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut ada, seperti adanya sekutu bagi Allah swt.
03. Ketiga, Jâ-iz ‘Aqly atau Mumkin ‘Aqly yaitu sesuatu yang keberadaan dan ketidakadaannya dapat diterima oleh akal, yaitu alam semesta atau segala sesuatu selain Allah swt.

Sifat Qudrah (kuasa) Allah swt hanya terkait dengan Jâ-iz atau Mumkim ‘Aqly saja. Artinya bahwa Allah swt Maha Kuasa untuk menciptakan segala apapun yang secara akal dapat diterima keberadaan atau tidakadanya. Sifat Qudrah Allah swt tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan Mustahîl ‘Aqly. Dengan demikian tidak boleh dikatakan : “Apakah Allah swt kuasa untuk menciptakan sekutu bagi-Nya, atau menciptakan Allah swt-Allah swt yang lain ?” Pertanyaan ini tidak boleh dijawab “Iya”, juga tidak boleh dijawab “Tidak”. Karena bila dijawab “Iya” maka berarti menetapkan adanya sekutu bagi Allah swt dan menetapkan keberadaan sesuatu yang mustahil adanya, dan bila dijawab “Tidak” maka berarti menetapkan kelemahan bagi Allah swt. Jawaban yang benar adalah bahwa sifat Qudrah Allah swt tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan tidak terkait dengan Mustahîl ‘Aqly.

Contoh kasus lainnya, bahwa suatu ketika datang seorang yang mengaku sangat menyukai filsafat. Setelah ngobrol “basa-basi” dengannya, tiba-tiba pembicaraan masuk dalam masalah teologi, secara khusus membahas tentang kehidupan akhirat. Dan ternyata dalam “otak” orang tersebut, yang kemudian dengan sangat “ngotot” ia pertahankan ialah bahwa kehidupan akhirat pada akhirnya akan “punah”, dan segala sesuatu baik mereka yang ada di surga maupun yang ada di neraka akan kembali kepada Allah swt. “Orang” ini beralasan karena jika surga dan neraka serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya kekal maka berarti ada tiga yang kekal, yaitu Allah swt, surga, dan neraka. Dan jika demikian maka menjadi batal-lah definisi tauhid, karena dengan begitu berarti menetapkan sifat ketuhanan kepada selain Allah swt, dalam hal ini sifat kekal (al-Baqâ’).

Kita jawab : Baqâ’ Allah swt disebut dengan Baqâ’ Dzâty, artinya bahwa Allah swt maha Kekal tanpa ada yang mengekalkan-Nya. Berbeda dengan kekalnya surga dan neraka, keduanya kekal karena dikekalkan oleh Allah swt (Bi Ibqâ-illâhi Lahumâ). Benar, secara logika seandainya surga dan neraka punah dapat diterima, karena keduanya makhluk Allah swt yang memiliki permulaan, akan tetapi oleh karena Allah swt menghendaki keduanya untuk menjadi kekal, maka keduanya tidak akan pernah punah selamanya. Dengan demikian jelas sangat berbeda antara Baqâ’ Allah swt dengan Baqâ’-nya surga dan neraka. Kemudian, dalam hampir lebih dari enam puluh ayat al-Qur’an, baik yang secara jelas (Sharîh) maupun tersirat, Allah swt mengatakan bahwa surga dan neraka serta seluruh apa yang ada di dalam keduanya kekal tanpa penghabisan. Dan oleh karenanya telah menjadi konsensus (Ijmâ’) semua ulama dalam menetapkan bahwa surga dan neraka ini kekal selamanya tanpa penghabisan, sebagaimana dikutip oleh Ibn Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’, Imam al-Hâfizh Taqiyyuddin as-Subki dalam al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, dan oleh para ulama terkemuka lainnya. Wallahu A’lam.

Jumat, 01 Juli 2011

Bencana di Negeri Kaum Beragama


Di Negeri kaum beragama, ada kecenderungan besar orang mengaitkan bencana alam atau musibah sejenisnya dengan dosa. Maksudnya bahwa bencana itu kiriman Tuhan, memang Tuhan yang sengaja menimpakan kepada manusia sebagai ganjaran duniawi atas perbuatan dosa yang mereka lakukan. Dengan kata lain, perilaku manusia dalam hal yang keji, buruk, jahat dan maksiat berpengaruh terhadap gejala-gejala almiah seperti Banjir, Gempa, Gunung Meletus, Tsunami, Tanah Longsor dan sebaginya.

Kaum beragama punya dasar untuk membuat justifikasi demikian. Misalnya merujuk firman Allah Swt : ”Maka Allah membinasakan mereka lantaran dosa-dosa mereka, dan meratakan mereka dengan tanah” (QS. As-Syams : 14). Ayat inilah salah satunya yang menjadi dasar untuk mengatakan bahwa dosa kejahatan, apalagi pembangkangan terhadap Tuhan bisa mengakibatkan bencana. Kaum Tsamud, sebagaimana dikisahkan dalam ayat tersebut mendustakan Tuhan, mereka diminta oleh Nabi Sholeh As agar membiarkan seekor unta hidup dan minum. Tetapi mereka justru membangkang dan membunuh unta itu. Maka Tuhan pun murka dengan kelakuan mereka dan ditimpakanlah bencana gempa serta tanah longsor yang maha dahsyat sehingga semuanya binasa terkubur.

Maka tak heran, ada saja orang yang berkomentar ”Miring” bahwa bencana yang menimpa saudara-saudara kita di Mentawai, Wasior, Lereng Merapi dan sebagainya konon disebabkan karena mereka banyak dosa dan maksiat. Setiap stasiun TV dan Radio berlomba-lomba menayangkan dan menyiarkan  berita tentang bencana itu dengan diiringi  lagu melankolis Ebiet G Ade yang intinya bahwa suatu bencana adalah sebagi peringatan dan Tuhan menghendaki agar kita semua kembali kepada-Nya dengan banyaknya bencana yang menimpa. ”...Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa...”.

Jika menggunakan pendekatan agama yang titik berangkatnya adalah Iman, pandangan atau model analisis semacam itu barangkali masuk akal dan sah-sah saja. Namanya juga agama, apa yang tersurat dalam Kitab Suci, apa Sabda Nabi, apa Kata Ulama’ asal kita percaya ya itulah kebenaran yang sesungguhnya. Habis perkara tak ada keraguan dan kebimbangan karena kebenaran berdasarkan Iman. Lain halnya jika pendekatan yang kita pakai adalah rasio. Etosnya pertama-tama justru ragu-ragu, percaya adalah soal nanti, setelah kita berfikir dan menganalisis dengan nalar yang sehat, syukur ditambah pula dengan bukti-bukti yang logis dan empirik. Kenapa musti ragu-ragu..? Karena dengan perangkat ilmu yang ilmiah, jelas ada ”Missing Link” jika dikatakan bahwa perilaku manusia berpengaruh secara langsung terhadap gejala alam. Misalnya, ya itu tadi analisis yang mengatakan bahwa karena orang Wasior, Mentawai dan Jogja jauh dari Tuhan, gemar maksiat, kejahatan merajalela maka alam pun menjadi murka dan terjadilah bencana Banjir, Tsunami dan Gunung Meletus. Cara berfikir seperti ini tentu saja dalam konteks rasio tidak masuk akal. Yang paling masuk di akal ”Matching Link” justru sebaliknya, bahwa kondisi alamiah, kondisi geografis tertentu mempengaruhi prilaku dan kebiasan manusia. Karena memang secara alamiah dan sosiologis, manusia hidup menyesuaikan diri dengan kondisi alam lingkungan sekitarnya. Misalnya, kebiasaan orang-orang di pesisir pantai yang berbicara panjang dan keras jelas sekali dipengaruhi kondisi geografis. Atau, konon orang Jakarta yang lebih enmosional dan mudah stres, tentu saja karena kondisi alamiah di Ibu Kota yang umumnya panas dan penuh polusi.

Kalau dalam kaitan modus ”Sebab Akibat”,  itu mungkin saja bahkan pasti,. Misalnya, sekelompok masyarakat di daerah tertentu gemar merusak hutan cagar alam disekitarnya, maka jelas saja tindakan mereka itu cepat atau lambat akan berkonsekwensi bencana banjir, tanah longsor, kekeringan dan sebaginya. Dan untuk hal ini, Al-Qur’an sendiri mengamininya : ”Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan, sebagai akibat dari ulah tangan manusia, Allah ingin mereka merasakan dampak perbuatan mereka, dan supaya mereka sadar ” (QS. Ar-Rum : 41).

Sedangkan model analisis yang mengaitkan bencana dengan dosa merupakan kebalikannya, yakni (Seakan-akan ada) modus ”Sebab Akibat Metafisik/Supranatural” dibalik fenomena bencana. Menurut hemat kami, model analisis macam ini mengandung ”Cacat” dan ”Sisi Negatif” yang signifikan. Pertama, jika bencana pasti berkaitan dengan dosa dan kemaksiatan, bukankah kota besar semacam Jakarta mestinya lebih ”Berhak” untuk dihantam bencana di banding Mentawai, Wasior atau Jogja..?. sudah menjadi maklum bahwa tungkat kemaksiatan di Jakrta sebagai kota metropolitan jelas lebih tinggi dibanding kota-kota lain. Buku ”Jakarta Undercover” yang tersohor itu (cetak ulang hingga lebih dari 30 kali) bisa kita jadikan dasar untuk asumsi itu.

Kedua, model analisis seperti itu berpotensi mengaburkan Kodrat atau Sunnatullah berkaitan dengan fenomena alam. Bencana alam adalah gejala natural biasa yang tunduk pada ”Sebab Akibat Natural” tadi. Yakni dikarenakan kondisi geografis tertentu memang potensial melahirkan bencana, baik karena dari awal strukturnya seperti itu atau berubah dan rusak karena ulah manusia. Misalnya gempa bumi itu terjadi karena tanahnya terdiri atas lempengan-lempengan sehingga jadi sesaran gempa, gunung berapi yang memang masih aktif tentunya setiap saat bisa saja meletus, tanah lonsor terjadi karena struktur tanahnya berbukit dan rapuh, banjir bandang terjadi karena hujan lebat dalm waktu yang lama sehingga sungai penuh dst. Jika dipahami bahwa aneka bencana alam seperti itu akibat dosa dan kemaksiatan, maka pengertian Sunnatullah dalm konteks ini menjadi amburadul dan berantakan.

Ketiga, model anlisis seperti itu punya sisi negatif yang krusial, yakni memberi justifikasi pada kecenderungan ”Blamming The Vicktims”. Bukankah ironis, bukankah tidak manusiawi, mereka yang tertimpa bencana sudah menderita, kehilangan  harta benda, tempat tinggal, pekerjaan bahkan sanak saudara. Tapi mengapa masih kita salah-salahkan juga sebagi pendosa dan pembuat maksiat yang menyebabkan datangnya bencana..?. kecenderungan ”Blamming The Vicktims” ini dalam tataran aksiologis juga berpotensi mengerus rasa simpati, empati dan kepedulian publik. Bisa saja bahkan banyak orang kemudian enggan membantu dengan mengusung dalih : ”Ya biar saja mereka menderita, itu sebagai ganjaran atas dosa mereka” atau, ”Tidak usah dibantu, biar saja mereka merasakan pedih, agar mereka mau bertaubat dan kembali kejalan Tuhan” dsb. Bayangkan saja jika yang memgang kendali penyelenggaran negara kita adalah orang-orang yang menganut pemahaman seperti ini, NKRI ini akan tamat..!.

Kami tak hendak menyatakan dan memastikan bahwa anlisis yang ”Mengaitkan Bencana dengan Dosa” itu keliru. Meskipun secara nalar kurang bisa diterima apalagi jika disyaratkan dengan pembuktian ilmiah yang logis dan empirs, namun demikian dalam perspektif tertentu yakni keimanan (Agama), analisis seperti itu masih dimungkinkan (bagi yang percaya tentunya). Hanya saja bagi kita sebagai bagian dari kaum beragama, untuk menunjukkan respon dan pandangan yang proposional dan santun. Menurut hemat kami, teks-teks suci, dalil-dalil agama memang bisa menjadi landasan sikap dan respon kita terhadap fenomena bencana alam, meskipun musti ada syaratnya dan yang terpenting adalah Iman. Namun demikian, dalam skala dan konteks tertentu ada semacam pembagian mana ayat yang menjadi wilayah kita untuk menujumputnya sebagai landasan sikap, mana yang wilayahnya bagi orang tertentu dan mana yang menjadi wilayah Tuhan.

Barangkali betul, jika kita percaya (Iman), bahwa ”Dosa Bisa Mengakibtkan Bencana” seperti yang tersurat dalam Al-Qur’an Surat Thoha : 9, Al-Anfal : 52, Al-Isra : 17 dsb. Tetapi yang menjadi pertanyaan, Siapa yang berhak menentukan dan menghakimi..?, Siapa para pendosa itu..?, Seseorang berdosa atau tidak..?, Dasarnya apa untuk menyebut mereka sebagai pendosa (epiustimologis)..?, Al-Qur’an memberikan jawabannya dalam Surat An-Nahl : 125 : ”... dan Allah lebih tahu, siapa yang tersesat dari jan-Nya, dan Dia lebih tahu siapa yang berjalan diatas petunjuk-Nya”. Dari ayat ini jelas seklai, bahwa hanya Allah Swt yang Maha Tahu mana yang berdosa dan mana yang berpetunjuk. Kita mungkin saja tahu, tetapi sangatlah sedikit dan hanya menerka saja (berspekulasi). Wallähu A’lamu Bi Al-Showäb,..

Rabu, 01 Juni 2011

Memerdukan Suara Bacaan Al-Qur’an

Menurut Imam Nawawi, jumhur ulama’ baik salaf maupun khalaf mensunatkan memerdukan suara saat membaca Al-Qur’an. Suara merdu bacaan Al-Qur’an menjadi panggilan karena enak didengarkan dan dapat meluluhkan dan mempengaruhi hati pendengarnya. Menurut jumhur ulama’ jika tipe suara pembaca Al-Qur’an tidak merdu, hendaklah memerdukan semampunya. Namun jangan sampai keluar dari aturan tajwid yang disampaikan oleh ulama ahli qiro’ah.

Nabi Muhammad saw melewati rumah Abu Musa Al-Asy’ari pada suatu pagi. Abu Musa sedang membaca Al-Qur’an. Nabi saw berkata : “Hai Abu Musa. Sungguh kamu telah dikaruniai (Allah) seruling (suara yang merdu) dari seruling-serulingnya keluarga Nabi Daud”. Abu Musa menjawab : “Kalaulah saya mengetahui anda memperhatikan, saya tentu mengelokkan bacaan saya untuk Anda”. (Muttafaqun ‘Alaih). Nabi Daud as adalah orang yang paling bagus suaranya. Nabi Muhammad saw menyerupakan merdu dan manisnya lagu suara Abu Musa dengan suara seruling karena adanya kesan atau pengaruh pada pendengarnya. Dari Al-Barra’ ra dia berkata : “Saya mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Tin pada shalat Isya’. Saya tidak pernah mendengar orang yang lebih merdu suaranya daripada Nabi saw” (HR. Syaikhan).

Dari Abu Hurairah ra Nabi saw bersabda : “Tidak pernah Allah swt mendengar suati seperti mendengarkan kemerduan lagu suara Al-Qur’an yang dikeraskan oleh Nabi” (HR. Syaikhan). Dari Fudhalah bin Ubaid, sesungguhnya Nabi saw bersabda : “Allah sangat mendengarkan kemerduan suara Al-Qur’an dari seorang laki-laki yang mempunyai budak yang tercukupi”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Seseorang bertanya kepada Ibn Abi Malikah : “Bagaimana pendapat anda jika seseorang tidak mampu memerdukan suara ?”. Beliau menjawab : “Hendaknya memerdukan semampunya”. Menurut para Ulama’, sebagaimana disampaikan pada kitab At-Tibyan, memerdukan suara bacaan Al-Qur’an hukumnya sunat selagi tidak keluar dari batasan atau berlebihan. Apabila melampau batas sehingga terjadi penambahan atau pengurangan huruf, amaka hukumnya haram dan bisa dita’zir atau diberi hukuman yang diputuskan penguasa karena perbuatan haram yang tidak ada batasan ketetapan didalam syari’at guna melindungi kemaslahatan umum. Sebagian ulama’ salaf melarang memerdukan suara, karena antisipasi (takut) jatuh pada keharaman ini. Mereka sepakat mengharamkan lagu yang tidak cocok, seperti lagu-lagu populer, karena menimbulkan lahn (salah pengucapan).

Menurut penulis Al-Itqan Fi ’Uilumil Qur’an Jalaludin As-Suyuthi, banyak orang membuat bid’ah dalam melagukan Al-Qur’an. Sebagian dari bid’ah itu antara lain :
1. Tar’id : yaitu melagukanAl-Qur’an dengan menggetarkan suara (orang) gemetar akibat dingin atau sakit.
2. Tarqis : yaitu melagukan (seperti) melemparkan sesuatu yang diam kepada yang ada disuatu tempat, kemudian berlari dengan gerakan (cepat) seperti menghadapi musuh atau melarikan diri.
3. Tathrib : yaitu memerdukan dan melagukan Al-Qur’an dengan cara memanjangkan bacaan yang semestinya tidak dibaca panjang atau menambah panjang dari panjang yang semestinya.
4. Tahrif : yaitu melagukan Al-Qur’an dengan cara sekelompok orang membaca bersama (koor), membuang sebagian huruf dan memanjangkan yang tidak panjang agar sesuai dengan irama lagu yang dikehendaki.

Menurut Ulama’ Syafi’iyyah, orang ynag membaca Al-Qur’an tidak boleh membaca lebih dari ukuran panjang (mad) dan harakat. Misalnya, membaca fathah sepanjang alif, dhammah sepanjang wawu, kasrah sepanjang ya’ atau membaca dengung pada bacaan yang tidak semestinya tidak dibaca dengung (idgham), serta yang serupa dengan itu yang menyalahi aturan resmi cabang ilmu qiro’ah. Larangan disini bermakna haram. Namun apabila tidak melampaui batasan itu maka tidak apa-apa.

Imam Al-Mawardi, salah seorang ulama’ Syafi’iyyah, berpendapat bahwa membaca dengan mengeluarkan lafadz Al-Qur’an dari sighatnya dengan memasukkan (menambahkan) atau mengeluarkan (mengurangi) harakat, mengurangi atau menambah panjang (mad), menebalkan yang tipis dan memakaikan makna (akibat tambahan) adalah haram. Orang yang melakukan Lahn Maudhu’ah ini berarti berbuat kefasikan dan orang yang mendengarkannya mendapat dosa karena menyimpang dari jalan lurus kepada jalan yang bengkok. Firman Allah swt : ”(ialah) Al-Qur’an dalam bahasa arab yang tidak ada kebengkokan (didalamnya)” (QS. Az-Zumar : 28).

Sedang apabila dalam mebaca Al-Qur’an tidak terjadi lahn dalam sighat dan membaca secara tartil (sesuai dengan panjang pendeknya) maka diperbolehkan karena kebagusannya sesuai tempatnya. Imam Nawawi menambahkan, lahn bacaan sebagimana keterangan diatas merupakan bid’ah yang jelas-jelas haram. Pembaca dan pendengarnya mendapat dosa, termasuk orang yang mampu menolak atau membenarkannya tetapi tidak melakukannya. Bagi Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, berlebihan memanjangkan bacaan Al-Qur’an sehingga susunan Al-Qur’an menjadi kacaui adalah haram. Memerdukan Al-Qur’an diperbolehkan selama tidak keluar dari kaidah tajwid yang disampaikan Imam-imam ahli qiro’ah. Sedang bagi Al-Kirmani, memerdukan, melagukan dan menyaringkan suara disunatkan selama tidak keluar dari batas toleransi kebolehan lahn. Jika berlebihan sehingga terjadi penambahan atau pengurangan huruf, maka hukumnya haram.

Menurut Imam Ahmad yang dikutip oleh Ibn Qudamah Al-Hanbali dalam kitab Al-Muqniy, membaca dengan lahn adalah makruh, karena merupakan bid’ah. Pendapat ini mendasarkan pada sabda Nabi saw bahwa termasuk syarat terjadinya hari kiamat adalah orang-orang menjadikan Al-Qur’an sebagai kemerduan (yang berlebihan sehingga terjadi lahn). Lahn dapat merubah kemu’jizatan lafal dan susunan Al-Qur’an. Perubahan harakat menjadi (sepanjang) huruf atau memanjangkan yang bukan pada tempatnya inilah yang dimakruhkan. Sedang memerdukan dan melagukan Al-Qur’an adalah sunat, buykan makruh selama tidak terjadi perubahan lafal dan penambahan huruf.

Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar, kalangan ulama’ salaf tidak berbeda pendapat mengenai (hukum) memerdukan suara. Mereka bersilang pendapat mengenai kedolehan lahn. Beberapa pendapat mengenai lahn yaitu :
1. Haram : Hukum ini disampaikan oleh Imam Malik, Abu Al-Thayyib, Al-Mawardi dan Ibn Hamdan Al-Hanbaliy.
2. Makruh : Hukum ini menurut Ibn Bathal, Iyadh, Al-Qurtubiy, Al-Mawadi dan Al-Ghazali.
3. Mubah : Hukum ini menurut sekelompok shahabat, tabi’in dan sebagian ulama’ syafi’iyah dan hanafiyah.

Hiasilah Al-Qur’an Dengan Suaramu

Menghiasi Al-Qur’an merupakan keistimewaan Al-Qur’an yang secara khusus disampaikan Nabi saw. Dari Al-Barra bin Azib berkata : Rasulullah saw bersabda : ”Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah kebaikan Al-Qur’an”. (HR. An-Nasai dan Al-Hakim).

Maksud dari hadits diatas yaitu menghiasi Al-Qur’an dengan cara membaguskan suara bacaan Al-Qur’an. Caranya dengan membaca secara tartil yang baik sesuai perintah Allah swt dan tidak keluar dari aturan membaca (tajwid) karena disepakati haram. Menurut Al-Hadawi dan Al-Khathabi dalam kitab An-nihayah, dengan memablik (susunan) hadits, pengertiannya adalah hiasilah suaramu dengan Al-Qur’an, bukan dengan nada ucapan dan lagu yang melengking. Al-Qur’an lebih mulia menghiasi suara bagus, walaupun sebaliknya, suara berhak melagukan Al-Qur’an.

Orang Yang Tidak Melagukan Al-Qur’an

Melagukan Al-Qur’an merupakan keistimewaan Al-Qur’an yang secara khusus disampaikan Nabi saw, sabda Beliau : ”Bukan dari umatku orang yang tidak melantunkan Al-Qur’an”. (HR. Abu Dawud). Dari Abu Hurairah ra dia berkata, Rasulullah saw bersabda : ”Tidak pernah Allah mendengarkan sesuatu sebagaimana mendengarkan pada Nabi merlagukan Al-Qur’an”. (HR. Bukhari).

Maksud Allah mendengarkan lagu Al-Qur’an adalah Allah memberi pahala yang besar dan kemuliaan orang yang melakukannya, bukan mendengarkan secara hakikat. Tujuan melagukan Al-Qur’an untuk menarik orang membaca dan yang mendengarkannya masuk pada (isi) Al-Qur’an dan merasa sedih dan menangis karena adzab yang diberitakaanya. Karena menangis dalam mebaca Al-Qur’an merupakan kebiasaan dan syi’ar para orang bijak dan hamba Allah yang shalih. Wallahu A’Lam.