Di Negeri kaum beragama, ada kecenderungan besar orang mengaitkan bencana alam atau musibah sejenisnya dengan dosa. Maksudnya bahwa bencana itu kiriman Tuhan, memang Tuhan yang sengaja menimpakan kepada manusia sebagai ganjaran duniawi atas perbuatan dosa yang mereka lakukan. Dengan kata lain, perilaku manusia dalam hal yang keji, buruk, jahat dan maksiat berpengaruh terhadap gejala-gejala almiah seperti Banjir, Gempa, Gunung Meletus, Tsunami, Tanah Longsor dan sebaginya.
Kaum beragama punya dasar untuk membuat justifikasi demikian. Misalnya merujuk firman Allah Swt : ”Maka Allah membinasakan mereka lantaran dosa-dosa mereka, dan meratakan mereka dengan tanah” (QS. As-Syams : 14). Ayat inilah salah satunya yang menjadi dasar untuk mengatakan bahwa dosa kejahatan, apalagi pembangkangan terhadap Tuhan bisa mengakibatkan bencana. Kaum Tsamud, sebagaimana dikisahkan dalam ayat tersebut mendustakan Tuhan, mereka diminta oleh Nabi Sholeh As agar membiarkan seekor unta hidup dan minum. Tetapi mereka justru membangkang dan membunuh unta itu. Maka Tuhan pun murka dengan kelakuan mereka dan ditimpakanlah bencana gempa serta tanah longsor yang maha dahsyat sehingga semuanya binasa terkubur.
Maka tak heran, ada saja orang yang berkomentar ”Miring” bahwa bencana yang menimpa saudara-saudara kita di Mentawai, Wasior, Lereng Merapi dan sebagainya konon disebabkan karena mereka banyak dosa dan maksiat. Setiap stasiun TV dan Radio berlomba-lomba menayangkan dan menyiarkan berita tentang bencana itu dengan diiringi lagu melankolis Ebiet G Ade yang intinya bahwa suatu bencana adalah sebagi peringatan dan Tuhan menghendaki agar kita semua kembali kepada-Nya dengan banyaknya bencana yang menimpa. ”...Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa...”.
Jika menggunakan pendekatan agama yang titik berangkatnya adalah Iman, pandangan atau model analisis semacam itu barangkali masuk akal dan sah-sah saja. Namanya juga agama, apa yang tersurat dalam Kitab Suci, apa Sabda Nabi, apa Kata Ulama’ asal kita percaya ya itulah kebenaran yang sesungguhnya. Habis perkara tak ada keraguan dan kebimbangan karena kebenaran berdasarkan Iman. Lain halnya jika pendekatan yang kita pakai adalah rasio. Etosnya pertama-tama justru ragu-ragu, percaya adalah soal nanti, setelah kita berfikir dan menganalisis dengan nalar yang sehat, syukur ditambah pula dengan bukti-bukti yang logis dan empirik. Kenapa musti ragu-ragu..? Karena dengan perangkat ilmu yang ilmiah, jelas ada ”Missing Link” jika dikatakan bahwa perilaku manusia berpengaruh secara langsung terhadap gejala alam. Misalnya, ya itu tadi analisis yang mengatakan bahwa karena orang Wasior, Mentawai dan Jogja jauh dari Tuhan, gemar maksiat, kejahatan merajalela maka alam pun menjadi murka dan terjadilah bencana Banjir, Tsunami dan Gunung Meletus. Cara berfikir seperti ini tentu saja dalam konteks rasio tidak masuk akal. Yang paling masuk di akal ”Matching Link” justru sebaliknya, bahwa kondisi alamiah, kondisi geografis tertentu mempengaruhi prilaku dan kebiasan manusia. Karena memang secara alamiah dan sosiologis, manusia hidup menyesuaikan diri dengan kondisi alam lingkungan sekitarnya. Misalnya, kebiasaan orang-orang di pesisir pantai yang berbicara panjang dan keras jelas sekali dipengaruhi kondisi geografis. Atau, konon orang Jakarta yang lebih enmosional dan mudah stres, tentu saja karena kondisi alamiah di Ibu Kota yang umumnya panas dan penuh polusi.
Kalau dalam kaitan modus ”Sebab Akibat”, itu mungkin saja bahkan pasti,. Misalnya, sekelompok masyarakat di daerah tertentu gemar merusak hutan cagar alam disekitarnya, maka jelas saja tindakan mereka itu cepat atau lambat akan berkonsekwensi bencana banjir, tanah longsor, kekeringan dan sebaginya. Dan untuk hal ini, Al-Qur’an sendiri mengamininya : ”Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan, sebagai akibat dari ulah tangan manusia, Allah ingin mereka merasakan dampak perbuatan mereka, dan supaya mereka sadar ” (QS. Ar-Rum : 41).
Sedangkan model analisis yang mengaitkan bencana dengan dosa merupakan kebalikannya, yakni (Seakan-akan ada) modus ”Sebab Akibat Metafisik/Supranatural” dibalik fenomena bencana. Menurut hemat kami, model analisis macam ini mengandung ”Cacat” dan ”Sisi Negatif” yang signifikan. Pertama, jika bencana pasti berkaitan dengan dosa dan kemaksiatan, bukankah kota besar semacam Jakarta mestinya lebih ”Berhak” untuk dihantam bencana di banding Mentawai, Wasior atau Jogja..?. sudah menjadi maklum bahwa tungkat kemaksiatan di Jakrta sebagai kota metropolitan jelas lebih tinggi dibanding kota-kota lain. Buku ”Jakarta Undercover” yang tersohor itu (cetak ulang hingga lebih dari 30 kali) bisa kita jadikan dasar untuk asumsi itu.
Kedua, model analisis seperti itu berpotensi mengaburkan Kodrat atau Sunnatullah berkaitan dengan fenomena alam. Bencana alam adalah gejala natural biasa yang tunduk pada ”Sebab Akibat Natural” tadi. Yakni dikarenakan kondisi geografis tertentu memang potensial melahirkan bencana, baik karena dari awal strukturnya seperti itu atau berubah dan rusak karena ulah manusia. Misalnya gempa bumi itu terjadi karena tanahnya terdiri atas lempengan-lempengan sehingga jadi sesaran gempa, gunung berapi yang memang masih aktif tentunya setiap saat bisa saja meletus, tanah lonsor terjadi karena struktur tanahnya berbukit dan rapuh, banjir bandang terjadi karena hujan lebat dalm waktu yang lama sehingga sungai penuh dst. Jika dipahami bahwa aneka bencana alam seperti itu akibat dosa dan kemaksiatan, maka pengertian Sunnatullah dalm konteks ini menjadi amburadul dan berantakan.
Ketiga, model anlisis seperti itu punya sisi negatif yang krusial, yakni memberi justifikasi pada kecenderungan ”Blamming The Vicktims”. Bukankah ironis, bukankah tidak manusiawi, mereka yang tertimpa bencana sudah menderita, kehilangan harta benda, tempat tinggal, pekerjaan bahkan sanak saudara. Tapi mengapa masih kita salah-salahkan juga sebagi pendosa dan pembuat maksiat yang menyebabkan datangnya bencana..?. kecenderungan ”Blamming The Vicktims” ini dalam tataran aksiologis juga berpotensi mengerus rasa simpati, empati dan kepedulian publik. Bisa saja bahkan banyak orang kemudian enggan membantu dengan mengusung dalih : ”Ya biar saja mereka menderita, itu sebagai ganjaran atas dosa mereka” atau, ”Tidak usah dibantu, biar saja mereka merasakan pedih, agar mereka mau bertaubat dan kembali kejalan Tuhan” dsb. Bayangkan saja jika yang memgang kendali penyelenggaran negara kita adalah orang-orang yang menganut pemahaman seperti ini, NKRI ini akan tamat..!.
Kami tak hendak menyatakan dan memastikan bahwa anlisis yang ”Mengaitkan Bencana dengan Dosa” itu keliru. Meskipun secara nalar kurang bisa diterima apalagi jika disyaratkan dengan pembuktian ilmiah yang logis dan empirs, namun demikian dalam perspektif tertentu yakni keimanan (Agama), analisis seperti itu masih dimungkinkan (bagi yang percaya tentunya). Hanya saja bagi kita sebagai bagian dari kaum beragama, untuk menunjukkan respon dan pandangan yang proposional dan santun. Menurut hemat kami, teks-teks suci, dalil-dalil agama memang bisa menjadi landasan sikap dan respon kita terhadap fenomena bencana alam, meskipun musti ada syaratnya dan yang terpenting adalah Iman. Namun demikian, dalam skala dan konteks tertentu ada semacam pembagian mana ayat yang menjadi wilayah kita untuk menujumputnya sebagai landasan sikap, mana yang wilayahnya bagi orang tertentu dan mana yang menjadi wilayah Tuhan.
Barangkali betul, jika kita percaya (Iman), bahwa ”Dosa Bisa Mengakibtkan Bencana” seperti yang tersurat dalam Al-Qur’an Surat Thoha : 9, Al-Anfal : 52, Al-Isra : 17 dsb. Tetapi yang menjadi pertanyaan, Siapa yang berhak menentukan dan menghakimi..?, Siapa para pendosa itu..?, Seseorang berdosa atau tidak..?, Dasarnya apa untuk menyebut mereka sebagai pendosa (epiustimologis)..?, Al-Qur’an memberikan jawabannya dalam Surat An-Nahl : 125 : ”... dan Allah lebih tahu, siapa yang tersesat dari jan-Nya, dan Dia lebih tahu siapa yang berjalan diatas petunjuk-Nya”. Dari ayat ini jelas seklai, bahwa hanya Allah Swt yang Maha Tahu mana yang berdosa dan mana yang berpetunjuk. Kita mungkin saja tahu, tetapi sangatlah sedikit dan hanya menerka saja (berspekulasi). Wallähu A’lamu Bi Al-Showäb,..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar